"Remember who the real enemy is"
*akhirnyaaaaaa*
Finally! Film yang paling ditunggu (oleh saya haha) di tahun 2013 ini akhirnya keluar juga :D
Well done, Mr. Lawrence. You did a very good job! Filmnya greaaaat.
It suits the book very very well. Sebagai penggemar novelnya, saya sama
sekali tidak kecewa dengan film hasil garapan sutradara ini. Francis
Lawrence berhasil menggantikan peran sutradara sebelumnya (Gary Ross)
dengan amat sangat baik. Dulu saat membuat film pertama, Gary Ross
memang bermain aman, bahkan terlalu aman. Tujuannya agar filmnya tetap
berjalan smooth tanpa kesan terlalu sadis, sehingga tetap aman ditonton
oleh remaja yang merupakan target pasarnya. Oke, tujuan tercapai, tapi
konsekuensinya walau The Hunger Games banjir pujian, tak lepas dari
kritikan sebagai film terjemahan novel yang gantung, tanggung, dan tidak
mengenai pesan moral kuat yang terdapat dalam novelnya. Kini semuanya
termaafkan saat Francis Lawrence memegang kendali dengan luar biasa di
film kedua.
Francis Lawrence membuat novel Suzanne Collins teradaptasi dengan
sangat baik dalam film berdurasi sekitar 2 jam 15 menit ini. Nampak
jelas kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, pemerintahan yang
fasis, tingkat hedonisme masyarakat yang tinggi, termasuk ironisme
reality show. Semua terkemas dengan sangat pas.
It feels like i can feel the pain.
Perasaan mengharu biru membuncah saat Victory Tour, terutama saat
Katniss berkunjung ke distrik 11. Keluarga Rue, pemberontakan
masyarakat, semua tergambar dengan baik. Fakta bahwa Katniss harus ikut
hunger games lagi saat dirinya bahkan belum pulih dari trauma pasca
hunger games sebelumnya, it also described in a good way.
Perfectly done.
Dan dengan tetap "bermain dalam zona aman", agar film ini tetap
mendapat klasifikasi PG-13, maka adegan sadis penuh darah tidak
ditonjolkan disini. Tapi Francis Lawrence berhasil membuktikan bahwa
tanpa adegan banjir darah pun bisa tetap membuat kengerian muncul dalam
"games" ini. Adegan monyet, kabut, dan jabberjay cukup kuat menimbulkan
kesan "games" yang menegangkan.
Selain itu, poin yang menarik adalah cinta segitiga antara
Katniss-Peeta-Gale yang diekspos lebih dalam, namun tetap dalam
porsinya. Dan hal yang juga ditonjolkan dalam film ini adalah hope.
Harapan. Bahkan si jahat pun menyadari bahwa sebanyak apapun rasa takut
yang ia sebarkan, akan tetap kalah jika masyarakat punya harapan.
Pesan moral? Oke.
Cerita dan dialog? Oke.
Arena hunger games? Oke. Persis seperti di novel. Pasti mirip dengan hasil imajinasi para pembacanya.
Kostum? Oke.
Transformasi gaun pengantin Katniss? Oke.
Gaunnya luar biasa. Tahu kan kalau gaun pengantin Katniss itu
rancangan om Rio? Hehe. Yup, Rio a.k.a Tex Saverio, desainer asal
Jakarta yang sering membawa nama Indonesia di ajang internasional.
Namanya mulai terkenal sejak gaun-gaun rancangannya dilirik oleh Lady
Gaga. Dan kali ini gaunnya terpilih sebagai gaun pengantin Katniss. Well
done..
Special effect? Oke. Terutama dengan adanya hologram-hologram yang tidak diceritakan dalam bukunya. Peningkatan bagus.
Endingnya? Sama dengan buku. Mewajibkan kita nonton film selanjutnya
supaya mengerti keseluruhan cerita. Tatapan marah Katniss di akhir film
seolah menjanjikan keseruan di film ke-3 dan ke-4.
Namun bukan hanya sang sutradara. Para aktor dan aktris juga
melakukan bagiannya dengan menawan. Jennifer Lawrence sang Katniss
Everdeen melakoni perannya dengan sangat baik. Dalam diam, matanya
sanggup menggambarkan kebencian yang dalam terhadap Capitol, dan di sisi
lain mampu melukiskan kesedihan tak terbendung. Haruskah peraih
penghargaan sebagai aktris terbaik ini membawa pulang piala Oscar-nya
yang kedua? Kita lihat saja :) Untuk peran Finnick Odair, senang sekali
Sam Claflin yang mendapatkannya. He's cute enough, charming enough, and
lovely enough. Saat dulu nama Robert Pattinson keluar sebagai kandidat
pemeran Finnick Odair, rasanya... ah, that would be such a geuleuh thing
haha -_-
Sosok lain yang mencuri perhatian adalah pemeran Johanna Mason yang
pantas mendapat perhatian. Dan satu lagi, pemeran penjaga perdamaian yg
baru, Komandan Thread, sosoknya benar-benar sangat *******. You're gonna
love to hate him :)
Okay then, waktunya untuk kritikan.
Daaan, kritik jatuh kepada.......
Tim penerjemah filmnya -_-
Yep, the translators.
Baru kali ini kayaknya nonton di XXI dan kecewa sama subtitle-nya.
Miss di beberapa kata, saya lupa pastinya, wajar sih kesalahan kecil
yang masih bisa ditoleransi gitu, karena interpretasi orang beda-beda,
selama masih satu konteks mah ngga apa-apa. Tapi dia typo looooh.
Beberapa kali kata "bisa" berubah menjadi "bias", "memberi" menjadi "member", "Katniss" menjadi
"Patniss" atau "Matniss". Apa banget kan. Kesalahan besar untuk seorang
penerjemah skala nasional (eh terjemahan gini sifatnya nasional apa kaga
sih?). Yah. Sayang aja karena filmnya sudah dikemas dengan bagus gitu.
Mungkin dia emang lagi kejar setoran. Kita maafkan saja.
Yang lebih parahnya lagi, sepertinya beliau tidak menonton film
pertamanya, sehingga beberapa terjemahan yang miss juga berasal dari
situ. Beliau menerjemahkan "Girl on Fire" sebagai "Gadis yang
Bersemangat" atau kadang juga "Gadis yang Terkenal". Oke, secara
gramatika memang bisa dibenarkan. Tapi "Girl on Fire" dalam film ini
artinya lebih sebagai "Gadis Berapi". Ini adalah istilah yang muncul di
film pertama setelah Katniss muncul menakjubkan dalam kostum apinya.
Seingat saya, sepanjang film hanya sekali saja istilah ini diterjemahkan
dengan benar, yaitu sesaat sebelum Katniss masuk ke arena.
Baiklah. Nobody's perfect. Jika kita di posisinya belum tentu kita bisa melakukan lebih baik dari dirinya.
The Hunger Games cukup baik sebagai makanan pembuka.
Catching Fire memuaskan sebagai menu utama.
Tahun depan Mockingjay akan berlaku sebagai makanan penutup.
Walaupun ngga terlalu excited menanti Mockingjay karena Mockingjay
adalah buku terlemah dalam trilogi, tapi semoga filmnya bisa lebih bagus
dari bukunya :D
Overall, Catching Fire ini awesoooome menurut saya. Tidak heran bisa mendapat rating 8,2 di imdb sampai malam ini :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar